Kajian Perlu, Tapi Perubahan Lebih Diperlukan

Pertemuan Tenaga Ahli Monev P2KP-PNPM Mandiri Perkotaan di Jakarta menghasilkan beberapa resume dan informasi terkait progres di lapangan. Seperti biasa, hasil pertemuan di Jakarta, masing-masing TA kemudian didiseminasikan kepada jajaran KMW dan pelaku lain di Papua.

Satu per satu bahan yang didapatkan dari Monev di Jakarta saya baca dan saya coba mengerti. Awalnya saya kesulitan sekali mencerna beberapa informasi yang diberikan, tetapi melalui diskusi, perlahan namun pasti saya mulai mengerti. Diibaratkan kendaraan yang melaju dengan kecepatan 30 kilometer per jam, perlahan tapi pasti.

Sewaktu mencari file yang ringan agar mudah dipahami, saya melihat judul satu file, yaitu “Progress PNPM Mandiri Perkotaan 2008-2009 – WB”. File tersebut menampilkan data dan informasi jumlah kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan secara nasional. Informasi data tersebut sangat berguna sebagai refleksi dan pembanding antara rencana dengan pelaksanaan.

Membaca isu dan permasalahan, saya kembali mencermati dengan serius setiap kata yang ada. Semula, isu adalah seputar hal yang masih normatif dengan kendala yang umum dihadapi tergantung berbagai kondisi berbeda setiap wilayah. Semua permasalahan tersebut, menurut saya, perlu disikapi secara serius dengan tetap mengedepankan kearifan lokal.

Terkait Pinjaman Bergulir (PB) saya melihat ada beberapa poin isu, namun yang paling menarik bagi saya adalah kalimat, “Dana kas/bank besar tetapi saldo pinjaman kecil. Perlu diteliti apakah masyarakat sudah tidak membutuhkan pinjaman bergulir lagi?” (Hasil EGM TA Monev).

Pertanyaan tersebut rasanya sulit dijawab dengan logika yang sederhana, karena pemahaman dan sepengetahuan saya, tidak ada orang yang tidak membutuhkan dana. Apalagi orang yang tidak mampu. Menurut saya, masyarakat bukan tidak membutuhkan PB, tetapi ada “sesuatu” yang menyebabkan dana yang diperuntukkan tersebut belum sampai ke masyarakat.

“Sesuatu” di atas bisa berarti, pertama, masyarakat belum mengerti tentang PB. Kedua, masyarakat kesulitan melaksanakan format “rumit” dengan dalih pembelajaran yang diterapkan. Ketiga, kemungkinan lain karena UPK-nya belum melakukan tugas karena begitu rumitnya persoalan PB. Keempat, mungkin ada “sesuatu” yang lain.

Satu hal, menurut saya, masyarakat membutuhkan dana untuk membantu kondisi kehidupan keseharian dan berharap bahwa bantuan yang ada akan membantu tanpa dibuat rumit yang “terbungkus” pembelajaran. Bukan kah lebih baik belajar sambil bekerja, daripada rumitnya aturan dalam memanfaatkan PB mengakibatkan masyarakat jadi tidak pernah belajar?

Ini sekadar renungan. Sewaktu mau mengirimkan catatan ini, saya sempat termenung dan meyakinkan diri bahwa cerita ini akan biasa-biasa saja. Sebenarnya sedikit ragu untuk meneruskan hobi bercerita, mengingat kasus menghebohkan yang dialami oleh Ibu Prita Mulyasari. (Tamharuddin, TA Sosialisasi KMW XV P2KP-3 Papua-Papua Barat-Maluku, PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)

Kepala Daerah Diimbau Sukseskan PNPM Mandiri

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto meminta seluruh kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun walikota untuk mendukung pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri 2009. Pasalnya, program ini merupakan penjabaran program penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu agenda prioritas nasional berdasar UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.

"Tujuan akhir dari program tersebut tentu untuk peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak rakyat," kata Mendagri usai pembukaan Workshop Nasional Sosialisasi dan Penyiapan Teknis PNPM Mandiri Perdesaan 2009 di Jakarta, Selasa (24/6/2009).

Pada 2009, pemerintah mengalokasikan anggaran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) melalui tugas pembantuan APBN sebesar Rp6,979 triliun dan APBD sebesar Rp1,356 triliun. Total anggaran BLM tahun 2009 sebesar Rp7,293 triliun tersebar di 364 kabupaten dan 4.371 kecamatan. Pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran dari APBN sebesar Rp665,367 miliar untuk pembiayaan tenaga fasilitator dan operasional satuan kerja (satker) tingkat provinsi.

Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Saut Situmorang mengatakan, PNPM Mandiri merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat. "Pada 2008 pemerintah dan pemerintah daerah telah mengalokasikan anggaran BLM sebesar Rp4,258 triliun," jelas dia.

Terima Dana

Di tempat terpisah, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Citra Jaya Mandiri, Desa Waringin Jaya, Bojong Gede, Bogor, menerima dana BLM dan PNPM Mandiri periode 2008 sebesar Rp200 juta.

"Tapi dana sebesar itu tidak langsung kami berikan semua, melainkan dilakukan dalam tiga tahap," ujar Senior Faskel Tim 18 PNPM Mandiri Kabupaten Bogor Muhammad Ridwan, saat kegiatan penyerahan dana dan sekaligus peletakkan batu pertama program perbaikan infrastruktur di lingkungan RW 04 Waringin Jaya.

Menurutnya, untuk tahap pertama PNPM Mandiri akan mencairkan dana sebesar 30%, yakni sekitar Rp60 juta. Dana sebesar itu harus langsung diserahkan kepada masing-masing Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) sebagai penerima manfaat langsung. "Pemberian dana ke KSM itu juga diberikan dalam tiga termin," jelas dia.

Kepala Desa Waringin Jaya Mad Amin mengaku sangat berterima kasih kepada pemerintah yang menurutnya lebih peduli pada masyarakat miskin. "Banyak program pemerintah yang berpihak pada masyarakat miskin, seperti BLT, Raskin, Jamkesmas, dan PNPM Mandiri," katanya.

Lebih lanjut, Koordinator BKM Citra Jaya Mandiri Samsul Huda berharap agar setiap KSM dapat memanfaatkan dana tersebut dengan sebaik-baiknya. "Dengan demikian, mudah-mudahan bantuan PNPM Mandiri bisa lebih dari Rp200 juta. Bahkan bisa mencapai sekitar Rp1 miliar seperti BKM-BKM lainnya," kata Samsul. (Sumber: Arjuna Al Ichsan - jurnalnasional.com, seperti dikutip mediawarga.blogspot.com oleh M Ridwan, Senior Faskel Kabupaten Bogor, PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)

KREDIT UMKM, MENYESATKAN

Potensi Ekonomi Rakyat

Dalam beberapa tahun terakhir Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) bak gadis cantik yang dilirik dan diperebutkan, menjadi primadona. Selalu dilontarkan bahwa sejak krisis ekonomi tahun 1999 telah membuktikan bahwa UMKM tidak hanya mampu bertahan dari badai krisis ini tetapi menjadi andalan sumber pendapatan masyarakat lapis bawah dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi.

Pada tahun 1988 UMKM hanya 38 juta unit dan meningkat menjadi 45 juta unit tahun 2005 dan 48 juta unit pada tahun 2007 (Koran Sindo 17 Desember 2007). Bilamana pada tahun 1998 hanya menyerap 57 juta tenaga, pada tahun 2005 menyerap 71 juta tenaga kerja maka pada tahun 2007 telah mampu menyerap sekitar 75 tenaga kerja.

Potensi ini semakin besar dengan keberadaan 140.000 koperasi dengan jumlah anggota 28 juta orang. Dimana anggota koperasi pada umumnya tergolong usaha mikro dan kecil yang menjadi bagian dari UMKM.

Tidaklah berlebihan bilamana pada tahun 2005 lalu digelar di Jakarta International Years of Microfinance yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan muara agar perhatian dunia perbank-an tertuju pada pemberdayaan usaha ini, bersamaan dengan perhatian pemerintah untuk memperkuatnya.

Malah pada akhir tahun lalu pemerintah kembali memberikan dukungannya melalui Lembaga Penjaminan Kredit. Dalam hal ini pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp.1,45 triliun untuk layanan kredit UMKM dengan pola penjaminan ini, dengan suku bunga maksimum 16 % per tahun. Penjaminan kredit bagi UMKM dan Koperasi tertuang dalam Inpres 6 tahun 2007, dengan plafon kredit Rp. 500 juta, imbal jasa penjaminan 1,5 % dari plafon kredit akan menjadi beban APBN.

Dorongan dan kelonggaran bagi kalangan perbank-an untuk menyalurkan kredit kepada usaha ini telah dituangkan oleh Bank Indonesia dalam Peraturan BI No.9/6/2007, pada bulan Maret 2007.

Segmen Primadona Bank
UMKM sebagai gadis cantik menjadi primadona dan semakin menjadi incaran layanan kredit perbankan. Sejumlah bank membukukan laba yang menakjubkan dengan porsi layanan kredit yang semakin besar.

Data Bank Indonesia pada bulan September 2007 menunjukan layanan kredit UMKM meningkat, 472,9 triliun atau 51,7 % dari total kredit yangmencapai Rp. 913,9 triliun. (Sindo,17 Desember 2007).

Berdasarkan data Bank Indonesia per Oktober 2007, kredit kategori UMKM yang diberikan untuk kredit konsumsi Rp 242,57 triliun. Besaran itu mencapai 51 persen dari total kredit UMKM yang jumlah totalnya sebesar Rp 478,74 triliun. Porsi tersebut lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang sekitar 50 persen.(Kompas, 22 Desember 2007).

BII sebagai bank terbesar keenam mencatatat pertumbuhan kredit 16 % , hingga posisi per September 2007 Rp. 30,4 trilun. Pertumbuhan ini didorong oleh kredit kepada UKM yang naik 34 %, dibanding tahun lalu. Sementara Bank LIPPO mencatat kenaikan layanan kredit 54 % menjadi Rp 16,8 triliun. Pertumbuhan terjadi pada semua segmen dengan penekanan pada UKMKM dan kosumsi. (Kompas 31 Oktober 2007).

Patut dicatat bahwa Bank Mandiri telah menyalurkan kredit UMKM sebesar Rp 16 trilun kepada nasabah UMKM sebanyak 140.000 nasabah. Kredit UMKM ini lebih banyak diserap oleh sector perdagangan.

Sementara BNI targetkan layanan kredit mikro tahun 2008, menjadi Rp 24 triliun, atau tumbuh 40 %. Hingga bulan Oktober 2007 saja telah mencapai 16, 176 triliun. BNI mempunyai komitemen untuk kredit kecil. Tahun 2003 Rp 11,3 triliun, tahun 204, menjadi Rp.12,319 triliun, tahun 2005, minus 1,05 % dan tahun 2006 Rp.13,787 triliun dengan kolektiblitas 90,086 %. (Sindo, 22 Nopember 2007).

Pemahaman Yang Sesat
Dibalik perkembangan positif tersebut, ternyata istilah kredit UMKM Sesat. memetik pernyataan Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM (Kompas 22 Desember 2007). Kenapa ? Karena Sebagian besar pinjaman perbankan yang masuk kategori kredit usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM ternyata disalurkan untuk kredit konsumsi. Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM Suryadharma Ali menilai, istilah kredit UMKM di perbankan nasional menyesatkan masyarakat.

Suryadharma Ali menegaskan, terminologi UMKM di perbankan nasional harus diubah. "Jangan pakai lagi istilah kredit UMKM. Perbankan harus jujur, kalau pengucuran kredit itu sebetulnya cuma berupa kartu kredit yang nominalnya Rp 50-an juta," ujar Suryadharma.

Menurut dia, pihaknya sudah mengingatkan publik agar tidak langsung senang dengan catatan besarnya penyaluran kredit UMKM di perbankan nasional. Kenyataannya, kredit konsumsi masih sangat besar.


Pandangan Yang Sama
Suryadharma, selaku Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM mengusulkan agar , data kredit UMKM yang berkonotasi produktif hendaknya dipisahkan dengan kredit konsumtif.

Pemahaman tentang skala UMKM oleh perbank-an dan intansi teknis seperti Kementrian UKM dan Koperasi, Departenen Perindustrian dan Perdagangan, dan pihak lain hingga saat ini masih belum sama. Masing masing pihak mempunyai kriteria tersendiri.

Selanjutnya mungkin kah kita memulai ”data based” UKMK dengan pijakan pemahaman yang sama itu ? Hambatan ego intansi dan lembaga yang selama ini sangat kuat, tidak pada tempatnya dipertahankan

Etiquetas

IP